“Sebelum bertemu kamu, patah hati tak pernah sesakit ini”.
Entah kamu masih mengingatnya atau tidak, pertemuan singkat kita waktu itu yang telah merubah sudut padangku tentang sebuah perasaan yang disebut cinta. Tentang bagaimana arti sebuah pengorbanan, dan tentang bagaimana arti sebuah keikhlasan.
Ini dek, pesenannya”. Sebuah kalimat dengan logat Jawa dari penjual mie ayam membuyarkan
lamunanku yang sedang menatap langit sore kota Sumbawa yang saat itu sedang hujan.
Lantunan piano dari lagu Kerispatih yang terdengar dari radiopun menambah nikmatnya sore itu. Ya, memang tak ada yang lebih menyenangkan dari makan semangkuk mie ayam langsung di warungnya saat hujan gumamku dalam hati waktu itu.
Seraya aku mengambil sendok dan garpu dari sebuah kotak yang ada di hadapanku, tiba-tiba pandanganku tertuju pada satu sosok wanita yang baru saja datang di luar warung. Terlihat dari pakaiannya yang basah, aku yakin dia baru saja kehujanan. Sial. Tanpa sempat memperbaiki poniku yang pasti penuh spasi karna tadi juga kehujanan, wanita itu langsung saja tiba-tiba duduk di hadapanku. Entah dia sadar atau tidak, pandanganku belum terlepas darinya semenjak beberapa menit yang lalu dia masuk ke warung. “Mas, mie ayamnya gak dimakan? Nanti bengkak lho”, wanita itu tiba-tiba bicara padaku. Aku diam. Bukan karna tak mau menjawab, tapi menikmati waktu yang seakan berhenti saaat dia bicara sambil tersenyum dengan manisnya.
Semangkuk mie ayam yang kupesan tak juga bisa kuhabiskan. Bagaimana tidak, mana mungkin aku bisa makan dengan lahap di hadapannya yang sesekali mencuri-curi pandang padaku. Ya, aku tau karna memang aku juga sesekali mencuri-curi pandang padanya. Lalu apakah aku sedang jatuh cinta? Oh no.. aku menginginkan kisah cinta yang lebih dari sekedar saling mencuri pandang di warung mie ayam.
“Hujannya awet yah”, akupun membuka percakapan dengan berharap dia akan menjawab sepatah kalimat dariku. Sambil menatapku dengan mata teduhnya diapun menjawab, “iya nih, mana bisa pulang kalo hujannya deras gini”. Aku hanya bisa tersenyum. Andai saja wanita lain yang berkata seperti itu, mungkin aku akan langsung akan melancarkan aksiku. Mencoba meminjamkan jas hujan yang selalu kubawa kemana-mana di bawah jok motorku, agar ada alasan meminta nomer hp-nya supaya jika sewaktu-waktu aku lewat di sekitaran rumahnya aku bisa mampir untuk mengambil kembali jas hujanku. Terdengar basi ya? Yah, setidaknya cara itu pernah berhasil untuk beberapa wanita.
Setelah menghabiskan semangkuk mie ayamnya, diapun beranjak dari tempat duduknya. Akupun mengikutinya hingga ke depan warung. Berdiri di dekatnya, sambil pura-pura menatap langit dan sesekali mencuri-curi pandang padanya yang terlihat buru-buru ingin pulang.
Hujan yang mengguyur semenjak tadi belum juga reda. Masih menyisakan gerimis yang jika nekat diterobos akan menyebabkan sakit kepala. Sialnya saat itu aku tidak memakai jaket. Tentu akan romantis jika aku meminjamkannya jaket untuk pulang bukannya jas hujan. Aku akan berkata bahwa lelaki berzodiak Leo sepertiku tak pernah takut air hujan. Aku juga akan berkata bahwa tidak semua bidadari bisa tahan sakit kepala. Aku tak yakin dia menganggap kalimat itu lucu, tapi setidaknya dia bisa tersenyum. Dengan begitu, hatiku yang sudah menggigil kedinginan semenjak tadi bisa mendapatkan penghangatnya.
Hari demi haripun berlalu, wanita yang kutemui di warung mie ayam itu akhirnya menjadi pacarku. Tapi kisah cintaku tak seindah saat pertama kali aku bertemu dengannya. Setelah hampir tujuh bulan kami jadian, dia akhirnya memutuskan hubungan denganku. Dan ironisnya, belum genap sebulan semenjak kami putus, dia menikah dengan lelaki lain.
Walau telah dipersiapkan, sebuah kepergian yang mendadak tetap terasa menyakitkan. Ya, dan hal itu terjadi padaku. Aku sudah yakin, hubungan ini tak akan bisa bertahan lama dikarenakan umur kami yang memang terpaut cukup jauh. Keluarganya yang tidak merestui hubungan kamipun membuatku cukup yakin bahwa suatu saat kami akan menghadapi sebuah perpisahan yang mungkin bukan atas kehendak kami.
Mungkin akan terdengar sangat munafik jika aku mengatakan aku ikhlas melepaskannya dengan orang lain. Tapi apa boleh buat, kenyataannya kini dia telah memutuskan menambatkan hatinya pada hati yang lain, yang mungkin saja mencintai dia dengan cara yang lebih baik dari caraku.
Kini aku hanya bisa merindukannya. Merindukan wanita pemilik mata teduh itu. Mata yang membuatku jatuh cinta dengan selengkung senyum cantik yang membuatku merasa dunia ini sudah indah tanpa perlu surga.
Hei kamu. Taukah kamu, bahwa sebelum bertemu kamu, patah hati tak pernah sesakit ini.
Sedih bacanya mas, hihihi cinta tidak akan membuatmu perih . Hadirkan cinta, hilangkan lara di hatimu Sambut mentari, biarkan hatimu bernyanyi…
BalasHapus“Hadirkan Cinta – Ecoutez”
hehehe tidak nyambung :D
Ih waaaw...sedih juga ya haha tapi yaudin, yang memang untukmu pasti jadi milikmu kok. Ngutip kata-katanya @namarappucino tuh hehe. Itu kalimat yang dalam tanda kutip dibaris pertama rasanya pengen dikatakan ke...ah sudahlah~
BalasHapus